Sunday, April 1, 2018

[2] We meet again

"Liora..." Ruth Ellisan meraih wajah putrinya dengan tangannya yang tidak di infus.

"Mama, jangan tinggalin Lio, Ma... Lio masih butuh Mama, Mama pasti bisa sembuh." Mata Liora sudah bengkak karena terlau banyak menangis, walaupun begitu airmatanya masih terus mengalir melihat kondisi mamanya.

Ruth mengalami kecelakan lalu lintas. Saat itu Ruth baru kembali dari berbelanja di supermarket, Ruth menyetir mobil sendiri karena jaraknya yang tidak jauh dari rumah mereka. Liora saat itu masih ada meeting di kantor. Kira-kira pukul tujuh malam, saat melihat lampu di perempatan jalan masih hijau, Ruth mempercepat laju mobilnya karena dia ingin segera sampai di rumah. 

Sayangnya walaupun lampu hijau itu diperuntukkan untuk mobil Ruth, dari arah sebelah kiri sebuah truk melaju dengan sangat kencang. Mobil Ruth terseret beberapa meter, hingga mobil itu tersangkut di tiang listrik. Pengendara truk dan Ruth sama-sama tidak bisa keluar dari kendaraan mereka. Bedanya, Ruth karena pendarahan dikepalanya, sedangkan si supir truk karena efek alkohol dan obat yang dikonsumsinya. 

Liora selalu langsung bergegas ke rumah sakit meninggalkan pekerjaanya, dia berlari disepanjang lorong rumah sakit sampai dia menemukan ruangan mamanya. Di sana sudah ada William dan beberapa dokter. 

"Mama kamu akan dioperasi sebentar lagi, pendarahan di kepala Mamamu pasti bisa disembuh oleh dokter-dokter ini, sayang" William memelai punggung cucunya dan keluar dari ruagan Ruth. Memberikan ruang untuk ibu dan anak saling berbicara.

"Liora, dengarkan Mama, Nak.."

"Mama jangan tinggalin, Lio."

"Lio, Mama mau minta bantuan kamu, boleh?"

"Apapun akan Lio lakukan untuk Mama, Mama harus sembuh."

"Sayang, seandainya Mama pergi.."

"Tidak! Mama gak boleh pergi."

"Lio, Mama mohon dengarkan Mama, Nak."

"Papa kamu, tolong berikan The Queen kepadanya, Nak. The Queen adalah hasil kerja kerasnya, sudah seharusnya dia dapat memilikinya 100% dan dapat mewariskannya ke putranya. Tolong sampaikan kepada Papamu, setelah Mama pergi dia sudah tidak memiliki tanggung jawab apapun pada Mama dan kamu." Ruth memejamkan matanya sebentar karena rasa sakit yang dirasakannya sangat luar biasa, tapi pesan ini harus disampaikan pada Liora.

"Lio, kamu sudah tahu kan cerita yang terjadi sama Mama dan Papa?"

"Iya, Ma.. Lio tahu.. "

"Lio jangan membenci Papa, ya, Nak. Apa yang dilakukan Papa sepuluh tahun yang lalu tidak disengajanya sayang. Dia hanya...."

"Dia hanya terlalu mencintai putranya yang hidup tanpa tahu dia punya ayah." Lio melanjutkan ucapan Ruth. Iya, Liora tahu itu, tapi Liora tidak bisa tidak membenci Abraham Sanjaya. 

"Mama mohon, Nak. Maafkan papamu dan mama mohon lakukan permintaan Mama."

"Iya, Ma.. akan Lio lakukan" Liora menyanggupi permintaan Ruth dan mengantarkan Ruth masuk ke ruang operasi.

Operasi berjalan 10 menit.
20 menit.
30 menit.

Seorang perawat berlari keluar dari ruangan operasi, menit kemudia perawat yang lain melakukan hal yang sama. Dua menit kemudian perawat pertama kembali dengan kantong darah ditangnnga. Sementara perawat yang satu lagi membawa cairan infus. 

Liora yang melihat hal itu semakin panik, William memeluk cucunya tapi jauh di dalam hatinya William sedang mempersiapkan dirinya untuk hal yang terburuk.

Satu jam berlalu, dua dokter keluar dari ruangan operasi dengan wajah sedih. Hal terakhir yang diharakan oleh Liora adalah mendengan berita buruk itu. Liora langsung berteriak, mengeluarkan kesedihan di hatinya. Liora kehilangan segalanya. Liora kehilangan Mama. 

***

"Nona... Nona Queen.." Nina menguncang tubuh Nonanya. "Nona, kita sudah hampir sampai."

Liora membuka matanya dan mengedipkannya beberapa kali, "Ya Lord, aku pasti tertidur sepanjang perjalanan, kepalaku sangat pusing. Bisakah kau memberiku segelas wine?"

Segelas wine langsung habis diminum Liora tanpa bersisa. Liora merapihkan rambut dan wajahnya, bagaimanapun juga dia adalah model Victoria Secret. Liora harus selalu tampil cantik dan menawan kapanpun dan dimanapun. 

"Apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Liora bertanya sambil memulas lipstik di bibirnya.

"Oh... Dia adalah model dan artis yang baru-baru ini sedang naik daun. Tepatnya setelah pertunangannya dengan GM The Queen."

"Hemm.. tipikal wanita yang mencari material?" Liora mengambil maskara dari tas make upnya dan menyapukannya di kedua bulu matanya.

"Dia berasal dari keluarga PNS dan orang tuanya tinggal di Jakarta. Tidak banyak informasi yang penting tentang dia, selain bahwa dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya selama dia bertunangan."

"What?" Liora menghentikan sapuan blush on di wajahnya. "Dia berselingkuh dibelakang Rieyu! Huh. Tidak heran, sih.. Secara pria cacat seperti itu, hanya wanita bodoh yang tahan berlama-lama melihat wajahnya."

"Nina, coba kau cari bukti-bukti perselingkuhannya dan kita akan lemparkan itu di depan Rieyu. Huh, ternyata tidak sulit memisahkan keduanya."

"Tapi, Nona... Bagaimana kalau setelah mengetahui hal itu, mereka tetap akan menikah?"

"Aku akan melakukan apapun untuk menggagalkan pernikahan mereka. Dan jangan sampai Alex tahu tentang hal ini. Ini adalah misi pribadiku, Nina. Mama tidak pernah mengatakan apapun tentang anak Abraham Sanjaya ini."

"Baik, Nona."

Sebelum turun dari pesawat, Liora mengenakan kacamata hitamnya. Berada di kelas bisnis, memberikan akses bagi Liora dan Nina untuk turun lebih dahulu. Alex? Liora sengaja memberikan kelas ekonomi.

Mobil BMW i8 berwarna kuning langsung menyambut Liora di pintu keluar, dibelakangnya ada Range Rover Evoque Convertible berwarna hitam. 

"Alex!"

"Yes,Queen." Alex terlihat kerepotan dengan tiga koper yang sedang dibawanya, belum lagi ransel miliknya yang besarnya udah sama dengan carrier orang-orang yang naik gunung!

"Kau dan Nina pakai mobil hitam itu, aku akan membawa mobil kuning ini sendirian.

"Tapi, Nona..." Nina mengeluarkan suara mencegah Nonanya mengendarai mobil sendirian.

"Aku sudah sering berkendara di Bali 10 tahun yang lalu, Nina.. Tenang saja" Liora langsung memasuki mobilnya dan melemparkan tas tangannya di kursi penumpang sebelahnya. Liora membuka jendelanya dan berteriak. "Sampai ketemu di The Queen."

Liora langsung melaju mobilnya keluar dari bandara dan menjelajahi kota Bali. Liora merindukan Bali. Walaupun Liora meninggalkan Bali dengan kenangan buruk, tapi Bali juga adalah kota yang memberikan kenangan terindah pada Liora. 

Kehidupan Liora - Mama - Papa awalnya berjalan indah seperti kebanyakan keluarga. Walaupun Mama yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Liora, tetapi pada akhir minggu Papa selalu menemani Liora bermain. Lima belas tahun kehidupan Liora berjalan baik-baik saja, hingga Liora masuk SMA dan bertemu dengan dia. Pria yang membuat Liora jatuh hati.

Mobil Liora akhirnya sampai pada gerbang utama The Queen Hotel. Sepuluh tahun yang lalu The Queen belum sebesar ini, Liora mengamati perkembangan The Queen melalui televisi dan sumber berita lainnya, tiga tahun yang lalu barulah Liora memperhatikan detil bisnis yang berjalan di The Quen.

Liora harus mengakui bahwa GM The Queen yang baru bergabung lima tahun lalu, membawa angin segar untuk hotel ini. The Queen berkembang luar biasa ditangan dia. Liora tahu Papanya pasti sangat bangga dengan hasil kerja GM yang baru itu. Yang mana, pria itu adalah putranya sendiri.

Liora berhenti di lobby hotel, Alex dan Nina langsung berlari menyambutnya. Liora menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas Valet.

"Nona Queen, sepertinya kita ada sedikit masalah." Alex membuka suaranya. Liora masih menggunakan kaca mata hitamnya dan tidak memberikan komentar sama sekali.

"Maafkan saya, Nona. Sepertinya reservasi yang kita lakukan kemarin dibatalkan sepihak oleh pihak hotel. Saya baru melihat email pebatannya hari ini begitu sampai di hotel ini." Kini Nina yang mencoba menjelaskan.

Liora berjalan melewati kedua pengawalnya menuju receptionist VIP. "Berikan saya kamar ataupun Vila terbaik di resort ini."

Liora mengenakan kemeja hitam dan berbelahan dada rendah, celana hitam kulit dan kacamata hitam yang masih melekat di wajahnya. Tidak ada senyum di wajahnya. Kedua resepsionis itu saling berpandangan,seakan saling melempar undi siapa yang akan menjawab pertanyaan Lioara.


"Maaf, Nona. Seluruh kamar dan resort kamu sedang penuh." Kata resepsionis yang wanita.

Liora semakin kesal dengan kedua pegawainya itu. "Berikan saya kamar yang terbaik atau kalian akan saya pecat!"

"Maaf Nona, tapi Anda tidak bisa memecat kami. Anda buka...n" 

"Ehem.. Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Miss....?" Seorang pria yang menggunakan suit lengkap dan kacamata hitam yang masih terpasanga di wajahnya, mengulurkan tangannya pada Liora. Udara disekitar Liora seketika itu menghilang, seluruh oksigen seakan terserap ke wajah pria yang ada di depannya. 

"Perkenalkan saya Yamada, saya adalah General Manager di sini. Ada yang bisa saya bantu, Miss?"
Rieyu masih mengulurkan tangannya dan menunggu reaksi dari wanita di depannya.



"Oh, haii Pak Yamada?" Liora tidak membalas uluran tangan Rieyu, dia hanya melambaikan tangannya. 

"Maaf, Pak. Nona ini ingin menginap di sini tetapi ruangan kita penuh." Jawab resepsionis wanita itu sambil menyelipkan rambutnya ke balik kuping. Ya Lord, Liora langsung ingin muntah melihat tingkah genit itu.

Rieyu membuka kacamatanya dan memperlihatkan tatapan yang bersalah. "Mohon maaf, Nona seperti yang dikatakan oleh pegawai saya saat ini The Queen memang sudah full book. Ada baiknya lain kali Anda melakukan reservasi sebelum ke sini."

"Bolehkah saya bertanya, Pak Yamada?" Liora semakin kesal, dia membuka kacamata hitamnya dan menunjukkan kemarahan di matanya. 

"Silahkan, Miss." 

"Apakah Anda tahu kenapa hotel ini diberi nama The Queen?" Liora melipat kacamatanya dan menaruhnya di kemejanya. Tepatnya di belahan dadanya.

Rieyu terdiam mendengarkan pertanyaan tersebut. Rieyu tahu jawabannya, tapi menjawab hal itu membuatnya teringat tentang seseorang yang sangat dibencinya. Perubahan airmuka Rieyu ini terlalu kentara di mata Liora. 

"Karena hotel ini dibangun setelah putri pertama Pak Sanjaya lahir. Nama putrinya Queen Liora Sanjaya. Sehingga hotel ini pun diberi nama The Queen" Resepsionis wanita itu menjawab pertanyaan Liora tanpa diminta. Gadis itu berharap mendapat pujian karena menyelamatkan bos tampannya dari pertanyaan Liora.

"Ahaa.. Gadis pintar. Sekarang, coba kamu baca kembali reservasi saya yang sudah kamu tolak itu. Itu atas nama siapa?" Liora melirik gadis itu sebentar lalu kembali menatap Rieyu dengan senyum sinisnya.

"Maaf, Nona. Di sini reservasi atas nam Queen Liora Sanja... ya.." Resepsionis itu membaca nama Liora dengan terbata. 

"Jadi apakah saya bisa mendapatkan kamar saya? Atau apakah saya bisa memecat kamu? Nona Pricillia?" Liora membaca label nama resepsionis itu yang ada dada kiri pakaiannya.

"Taapi.. sa..at. in.."

"Aku akan mengantarmu ke ruanganmu, Queen!" Rieyu menarik tangan Liora dan menariknya menuju lift. Rieyu berjalan lebih cepat dari langkah Liora yang membuatnya kesakitan.

"Woiii... You hurt me!" Pintu lift langsung terbuka dan Rieyu menarik Liora masuk. Beberapa meter dari mereka Alex dan Nina yang melihat Nonanya di tarik paksa berlari ke arah Liora, sayangnya mereka sampai ketika pintu lift berhasil ditutup sempurna.

"Untuk apa kau datang kemari?" Rieyu hanya berdua dengan Liora di dalam lift.

"Kau mau bawa aku ke mana?" Liora melihat tombol angka tiga yang menyala. "Kau tidak sedang berencana mencampakkan aku dari lantai tiga ke lantai dasar, kan? Well, fyi.. Itu tidak akan membunuhku. Sebaiknya kau menembakku langsung di kepala. Itu cara mati yang paling cepat." Liora masih terus berbicara hingga pintu lift terbuka.

Rieyu kembali menarik tangan Liora dan menariknya dengan kasar. "Hei... Pak Yamada, kau menyakitiku! Sumpah aku akan melaporkanmu ke komisi perlindungan pelanggan dan menuntutmu."

Rieyu tidak sedikitpun terpengaruh dengan ucapan Liora. "Okai, lepaskan aku sekarang juga atau aku akan melaporkanmu pada Papaku." Rieyu tiba-tiba berhenti dan Liora merasa lega karena mengira pria itu takut akan ancamannya. 

Sayangnya tidak seperti itu, Rieyu mengeluarkan kartu aksesnya dan membuka pintu kamar di depan mereka. Sekali lagi Rieyu menarik tangan Liora dan memaksanya masuk ke dalam kamarnya. Rieyu masih menarik tangan Lioran hingga gadis itu duduk diatas kasur.

"Jawab aku. Untuk apa kau kemari?" Wajah Rieyu terlalu dekat dengan Liora. Hal itu berdampak aliran oksigen yang mengalir ke otak Liora. Sedikit. Sehingga otaknya jadi sedikit lama respon.

"Emangnya ada yang salah kalau putri Pak Sanjaya menguji ayahnya?"

"Cih. Jika kau menganggapnya ayah, sepuluh tahun ini kau di mana?" Liora tersenyum sinis menanggapi ucapan Rieyu.

"Dia sendiri dimana selama sepuluh tahun ini? Terlalu sibuk dengan putran kandungnya, heh?" Rieyu mengeraskan rahangnya setiap kali mendengar jawaban dari bibirnya Liora.

Queen Liora yang ada didepannya saat ini bukanlah Queen Liora yang sama dengan sebelas tahun yang lalu. Dulu Liora adalah gadis berkulit hitam dengan bau matahari dan bermata biru. Wajah hitamnya penuh dengan jerawat-jerawat merah. Kini wanita yang di depannya ini terlihat sangat cantik dengan mata birunya yang terlihat menantang dan pembangkang. Kalau saja yang dihadapannya saat ini adalah pria, pasti sudah habis dihajar oleh Rieyu.

"Tapi kenapa baru sekarang kau muncul? Pasti ada alasan khusus." Rieyu menjauhkan wajahnya dari wajah Liora. Terlalu lama menghirup parfum Liora bisa membuatnya ingin menelanjangi wanita itu.

"Jelas ada alasan khusus. Tapi aku tidak mau repot-repot menjelaskannya padamu. Aku ke sini memang khusus untuk menemui Abraham Sanjaya. Bukan untuk bertemu denganmu. Sekarang bisa kau beritahu di mana kamar untukku? Rasanya... " Liora melirik ke seluruh kamar yang sedang ditempatinya. Kamar itu cukup kecil dan sederhana, hanya ada tempat tidur queen size, meja kerja, dan televisi. Liora melirik foto yang ada di meja nakas dekat tempat tidur, ada foto Rieyu dan Ibunya.

"Ini pasti kamarmu, kan? Aku ingin punya kamar sendiri. Urusanku dengan Abraham Sanjaya bukan urasan 1, 2 jam. Aku butuh tempat untuk beristirahat juga dua asisten pribadiku."

"Sementara kau bisa pakai kamarku ini. Aku bisa tidur di ruang kerjaku."

"Whatt?" Liora berdiri dari kasur. Sayangnya, Liora tidak memperhitungkan bahwa jaraknya dengan Rieyu sangat dekat. Begitu Liora berdiri, dadanya dan dada Rieyu bersentuhan. Bodohnya lagi Liora langsung mundur dan kakinya terbentur kasur. Liora tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, secara refleks Liora menarik apa saja yang ada di depannya untuk mencegahnya jatuh. Liora tidak punya banyak pilihan, hanya lengan Rieyu yang bisa di jadikah pegangan.

Rieyu merasakan sengatan aneh ditubuhnya saat merasakan dada Liora menenyentuhnya. Benda kenyal itu merusak konsentrasinya hingga diapun tidak bisa menahan tubuh Liora agar tidak jatuh. Akhirnya Rieyupun ikut terjatuh besama Liora. Tepatnya terjatuh di atas dada Liora!

Liora masih menutup matanya ketika dia merasakan ada benda berat yang menekan seluruh tubuhnya. Ketika dia membuka mata, mata biru Liora bertemu dengan mata hitam milik Rieyu. Mata itu sangat gelap seolah-olah ingin menelah Liora saat ini juga. 

"Sedang apa kau? Mengapa tidak segera menyingkir dari atas tubuhku. Kau berat, tahu!"

"Oya? Lalu kenpa tanganmu masih meremas lenganku, Queen!" Liora lalu tersadar dan melepaskan lengan Rieyu. Tetapi baru saja dia melepasnya, dia menahan lengan kiri Rieyu dan dengan tangan kirinya Liora menyentuh dagu Rieyu sebelah kanan. 

Sentuhan Liora yang tiba-tiba seperti membakar kulit Rieyu. Liora menyentuhnya tepat di tempat yang seharusnya tidak pernah di sentuk oleh Liora. Lagi. 

"Stop!" Tangan kanan Rieyu menahan tangan kiri Liora. Liora bisa melihat kemarahan di mata pria itu.

"Oh.. Aku kira bekas lukamu sudah hilang, ternyata hanya efek foundation. Kau pake merek apa? Sepertinya aku mau mencobanya untuk diriku. Katakan." Liora tersenyum penuh kemenangan. Satu-satunya kemengan terbesar Liora yang juga adalah kekalahanya adalah bekas luka yang saat ini ada di wajah Rieyu. Bekas luka itu adalah tanda kemarahan Liora pada Rieyu sepuluh tahun yang lalu.

Rieyu menyingkirkan tangan Liora dan bangkit dari kasurnya. Liora pun ikut menaikkan tubuhnya, hanya saja kali ini dia tidak ikut berdiri. Hanya duduk di kasur dan menunggu apapun kalimat kasar yang akan dikeluarkan Rieyu.

"Sepertinya kau lupa bahwa hari ini hotel sudah penuh dan besok ada perayaan Nyepi di Bali, kau tidak punya pilihan lain selain menginap di kamarku untuk malam ini sampai ada kamar kosong atau kau bisa pindah dari hotel setelah perayaan Nyepi selesai."

Tanpa sadar Liora menepuk jidatnya. Jelas saja dia tidak tahu bahwa besok ada Nyepi, di New York tidak ada tanggal merah untuk Nyepi."Ehemm.. Baiklah jika kau memaksa aku akan menginap di sini malam ini. Kau akan menginap di ruang kantormu,seperti yang kau ucapkan sebelumnya."

"Ok." 

"Tapi bagaimana dengan asistenku? Kamarmu ini hanya punya satu tempat tidur. Aku punya satu asisten wanita dan satu lagi pria. Aku bisa saja tidur di sini bersama Nina, tapi aku rasa Alex tidak akan nyaman bila tidur satu ruangan dengan kami, walaupun tidurnya di sofa." Liora menaikkan kedua bahunya. Melemparkan masalahnya begitu saja kepada Rieyu, yang membuat pria itu lagi-lagi menggertakkan rahangnya.

Rieyu menghubuni sesorang melalui telepon kamar, sepertinya dia berbicara dengan manager pelayan di hotel itu. Setelah beberapa menit berdiskusi, Rieyu menutup telponya. "Kedua asistenmu bisa tidur di asrama pelayan malam ini. Kebetulan beberapa karyawan ada yang pulang untuk merayakan Nyepi. Mereka bisa bergabung dengan pelayan lainnya."

"Tetapi mereka bukan pelayan. Mereka itu asistenku!" Liora bangkit dari duduknya dan mendekati Rieyu yang berjarak lima langkah dari tempatnya. 

"Kau mau mereka tidur di lobby hotel atau di asrama pelayan? Dan asal kau tahu selama Nyepi tidak boleh ada kegiatan di luar kamar!" 

Liora tidak bisa menjawab perkataan Rieyu. Rieyu menunggu wanita itu membalasnya, tapi dia hanya diam dan menunduk. Rieyu pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Baru saja pintu itu dibuka, Rieyu menutup kembali pintu itu. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Ahhh.. bodohnya aku! Aku tidak bisa menginap di ruanganku, Ruangan itu sedang di renovasi dan kondisinya tidak layak untuk ditempati."

"Lalu? Kau tidak berniat untuk tetap tidur satu ruangan denganku di sini, kan?"

"Apa aku punya pilihan lain?"

"Ya Lord.... Kamar Abraham Sanjaya di mana? Aku bisa menginap disitu. Satu ruangan dengan dia lebih baik daripada dengan mu."

"Oh itu.. aku juga belum memberitahumu bahwa Pak Sanjaya sedang ada meeting di Jakarta dengan tim The Queen Jakarta. Kemungkina beliau akan kembali setelah perayaan Nyepi selesai."

"Tapi.. Tapi.. Kau pasti punya master key ke ruangannya bukan? Come on you are the GM of this hotel."

"Maaf mengecewakanmu, tapi ruangan Pak Sanjaya juga sedang di renovasi. Beliau ingin mengganti warna kamarnya sehingga, ya... kamar itu sedang di cat ulang."

"Arrhhhhh.... Oke. Malam ini aku tidur di kasur, kau tidur di sofa itu." Liora menunjuk pada satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu dan itu adalah sofa single, hanya bisa diduduki oleh satu orang.

"Ya Lord... Kau GM hotel ini, tapi kau tinggal di ruangan yang sangat-amat sederhana dan tidak ada apa-apa ini? Bahkan kau tidak punya sofa untuk merebahkan tubuh?" Liora mengacak-acak rambutnya kesal.

"Kalau kau tidak mau satu kasur denganku, kau bisa tidur di sofa itu. Badanmu mungkin lebih cocok di situ. Kalau badanku?" Rieyu menyombongkan tubuh kekarnya yang lebih tinggi dan lebar dibandingkan Liora.

"Okai. Kita akan tidur di ranjang yang sama tapi akan ada pembatas di tengah-tengah. Kau tidak boleh melewatinya!" Liora mengacungkan jarinya pada Rieyu. Rieyu hanya mengangguk sambil melirik kasurnya kemudian keluar dari ruangan.

Liora menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Rencananya hari ini untuk bertemu dengan Abraham Sanjaya harus diundur. Tetapi itu tidak seberapa dibandingkan kekesalannya karena bertemu dan berdebat dengan Rieyu Oatmeal Yamada itu.

Ya Lord... di dalam hati Liora saat ini sedang ada gemuruh gendang yang bertalu-talu. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana malam ini, tidur satu ranjangan dengan pria saja belum pernah dilakukannya, apalagi tidur satu ranjangan dengan si Oatmeal yang nyebelin.




No comments:

Post a Comment