Wednesday, December 9, 2015

Si Radio Tua


Rumah itu kecil, terletak jauh dari keramaian ibu kota. Rumah itu berisikan Mamak, Bapak, Kakak, Abang, Adik, dan kucing yang bernama Bujang. Setiap satu atau dua jam sekali akan ada kereta listrik yang melalui depan rumah itu, itulah sebabnya si Kakak selalu memutar radio setiap hari. 

“Kakak, janganlah lagu-lagu bule itu terus kau putar, pusing Mamak dengar lagumu!” 

“Makanya, puter lagu dangdut aja!” Si Bapak berseru dari dapur sambil membawa segelas kopi.

“Jangan, Pak! Nanti si Bujang gak mau pulang ke rumah. Gak suka lagu dangdut, dia.” 

“Si Adek ini, cuma Si Bujang aja yang diurusinya tiap hari. Kerjakan PR mu!!” Si Abang, memukul kepala Adik yang sejak tadi bermain dengan Bujang walaupun buku PR-nya sudah terbuka di sebelahnya. 

“Sudahlah, aku ganti aja ke siaran yang lagu bahasa Indo, ya... Karena kita ini berbahasa satu!” Seru Si Kakak sambil memutar Radio yang sudah tua itu.

“Bahasa Indonesia!!” Sambung Si Adik dan Si Abang bersamaan.

Setiap hari, selepas makan malam, Kakak selalu memutar radio. Terkadang Si Adik berteriak memanggil Abang untuk membantunya mengerjakan PR, sementara Kakak dan Mamak membereskan meja setelah makan. Kakak selalu menjadi orang yang memarahi Abang dan Adik setiap kali mereka tidak mengerjakan PR atau kalau mereka pulang sekolah terlambat. 

Radio tua itu adalah satu-satunya hiburan di rumah itu. Siaran mulai dari berita pagi, siang, gosip selebriti, hingga bunyi berisik halus di dini hari. Radio tidak pernah mati, kecuali mati lampu.

Sunday, December 6, 2015

Bukan Mr. Strangger


Kindness is like coffee. It awakens your spirit and improves your day.

"Caramel Macchiato hangat satu ya..."

Sambil menunggu antrian pesanan yang panjang, aku menyebarkan pandanganku mencari bangku kosong untukku. Semua bangku di toko kopi terkenal ini hampir penuh, ada beberapa yang kosong tapi aku tidak yakin apakah aku bisa mendapatkannya atau tidak. Baru saja ada beberapa kumpulan remaja yang melewatiku dan menyebar mencari tempat duduk, di depanku juga ada tiga orang yang sepertinya senasib denganku. Sendirian dan sedang menunnggu hujan reda.

Aku melihat jam tanganku, sudah jam sepuluh malam dan diluar sana hujan masih deras. Antrian taxi sudah aku pastikan sangat panjang, daripada aku menunggu sambil berdiri lebih baik aku minum segelas kopi untuk meredakan kekesalan hari ini. Bagaimana tidak kesal coba? Jam tujuh malam aku sudah bersiap untuk pulang, komputer sudah aku matikan dan tas kerja sudah aku gantungkan dibahuku ketika bos muncul dan...

"Lita, tolong laporan yang untuk senin diselesaikan hari ini, kirimkan ke saya kalau sudah selesai!" Bayangkan saja, sekarang hari Jumat dan pekerjaan untuk minggu depan harus diselesaikan hari ini? Mana laporan itu sama sekali belum aku sentuh! 

Aku mematikan kembali komputerku di jam setengah sepuluh malam. Aku meninggalkan bosku yang masih sibuk dengan semua email-email ataupun pekerjaannya yang lain. Itulah nasib orang yang bergaji besar, tanggung jawab juga makin banyak.

Jam sepuluh malam dan di sinilah aku berakhir, mengantri di kedai kopi terkenal. Di luar sedang hujan deras, dan antrian taxi juga sangat panjang. Daripada menunggu sambil kedinginan lebih baik menunggu ebrsama kopi kopi hangat. Lagian, besok tidak ada janji yang akan dikejar, hanya ada kasur dan yang akan menemahi hari Sabtu malasku.

"Kak Lalita, Caramel Macchiato." Aku mengambil minumanku dan melangkah lebih cepat ke kursi itu. Satu kursi kosong yang ada di depan jendela besar dengan meja panjang yang sudah hampir penuh dengan individu yang sedang menanti. Menanti redanya hujan, ataupun menikmati bahagia bersama aroma kopi. Untungnya aku lebih cepat dari wanita di depanku tadi, sehingga aku sekarang bisa melihat jendela yang dibasahi tetesan hujan dan juga lampu-lampu kemacetan Jakarta. 

Aku menggenggam minumanku dan membiarkan hangatnya mengalir dari telapak tanganku hingga ke dalam hatiku. Setidaknya hangat itu dapat menukar rasa kesal dihatiku. Aku menikmati wangi kopi dan manisnya caramel, aku memejamkan mataku agar kenikmatan itu dapat mengalir jantungku, kepalaku, dan seluruh sel-sel ditubuhku.

Di luar masih hujan deras dengan kemacetan Jakarta yang gak ada ampunnya. Aku melirik jam lagi, baru sepuluh menit aku menunggu tapi rasanya seperti sudah dua jam. Aku membuka ponselku dan membuka social mediaku satu-persatu. Di path pada ramai posting mie rebus yang terlihat lezat, di facebook penuh dengan sharing tentang agama dan politik, instagram penuh dengan postingan orang jualan. Bosan!

Aku kembali minum kopiku yang sudah hampir dingin dan isinya tinggal setengah tapi hujan masih terlihat deras. Aku menopang daguku dengan tangan kanan sambil bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar di kedai kopi ini. 

"Permisi, saya boleh duduk di sini, ya... " Seorang pria membawa kursi dari meja lain dan memaksakan dirinya duduk di antara aku dan pria lain yang tadi di sampingku. Jelas saja aku langsung mengerutkan keningku. Jelas-jelas tempat aku duduk sudah terlalu sempit untuk ditambah dengan satu orang asing lagi, tapi dia tetap saja kekeuh untuk duduk di situ.