Sunday, April 1, 2018

[2] We meet again

"Liora..." Ruth Ellisan meraih wajah putrinya dengan tangannya yang tidak di infus.

"Mama, jangan tinggalin Lio, Ma... Lio masih butuh Mama, Mama pasti bisa sembuh." Mata Liora sudah bengkak karena terlau banyak menangis, walaupun begitu airmatanya masih terus mengalir melihat kondisi mamanya.

Ruth mengalami kecelakan lalu lintas. Saat itu Ruth baru kembali dari berbelanja di supermarket, Ruth menyetir mobil sendiri karena jaraknya yang tidak jauh dari rumah mereka. Liora saat itu masih ada meeting di kantor. Kira-kira pukul tujuh malam, saat melihat lampu di perempatan jalan masih hijau, Ruth mempercepat laju mobilnya karena dia ingin segera sampai di rumah. 

Sayangnya walaupun lampu hijau itu diperuntukkan untuk mobil Ruth, dari arah sebelah kiri sebuah truk melaju dengan sangat kencang. Mobil Ruth terseret beberapa meter, hingga mobil itu tersangkut di tiang listrik. Pengendara truk dan Ruth sama-sama tidak bisa keluar dari kendaraan mereka. Bedanya, Ruth karena pendarahan dikepalanya, sedangkan si supir truk karena efek alkohol dan obat yang dikonsumsinya. 

Liora selalu langsung bergegas ke rumah sakit meninggalkan pekerjaanya, dia berlari disepanjang lorong rumah sakit sampai dia menemukan ruangan mamanya. Di sana sudah ada William dan beberapa dokter. 

"Mama kamu akan dioperasi sebentar lagi, pendarahan di kepala Mamamu pasti bisa disembuh oleh dokter-dokter ini, sayang" William memelai punggung cucunya dan keluar dari ruagan Ruth. Memberikan ruang untuk ibu dan anak saling berbicara.

"Liora, dengarkan Mama, Nak.."

"Mama jangan tinggalin, Lio."

"Lio, Mama mau minta bantuan kamu, boleh?"

"Apapun akan Lio lakukan untuk Mama, Mama harus sembuh."

"Sayang, seandainya Mama pergi.."

"Tidak! Mama gak boleh pergi."

"Lio, Mama mohon dengarkan Mama, Nak."

"Papa kamu, tolong berikan The Queen kepadanya, Nak. The Queen adalah hasil kerja kerasnya, sudah seharusnya dia dapat memilikinya 100% dan dapat mewariskannya ke putranya. Tolong sampaikan kepada Papamu, setelah Mama pergi dia sudah tidak memiliki tanggung jawab apapun pada Mama dan kamu." Ruth memejamkan matanya sebentar karena rasa sakit yang dirasakannya sangat luar biasa, tapi pesan ini harus disampaikan pada Liora.

"Lio, kamu sudah tahu kan cerita yang terjadi sama Mama dan Papa?"

"Iya, Ma.. Lio tahu.. "

"Lio jangan membenci Papa, ya, Nak. Apa yang dilakukan Papa sepuluh tahun yang lalu tidak disengajanya sayang. Dia hanya...."

"Dia hanya terlalu mencintai putranya yang hidup tanpa tahu dia punya ayah." Lio melanjutkan ucapan Ruth. Iya, Liora tahu itu, tapi Liora tidak bisa tidak membenci Abraham Sanjaya. 

"Mama mohon, Nak. Maafkan papamu dan mama mohon lakukan permintaan Mama."

"Iya, Ma.. akan Lio lakukan" Liora menyanggupi permintaan Ruth dan mengantarkan Ruth masuk ke ruang operasi.

Operasi berjalan 10 menit.
20 menit.
30 menit.

Seorang perawat berlari keluar dari ruangan operasi, menit kemudia perawat yang lain melakukan hal yang sama. Dua menit kemudian perawat pertama kembali dengan kantong darah ditangnnga. Sementara perawat yang satu lagi membawa cairan infus. 

Liora yang melihat hal itu semakin panik, William memeluk cucunya tapi jauh di dalam hatinya William sedang mempersiapkan dirinya untuk hal yang terburuk.

Satu jam berlalu, dua dokter keluar dari ruangan operasi dengan wajah sedih. Hal terakhir yang diharakan oleh Liora adalah mendengan berita buruk itu. Liora langsung berteriak, mengeluarkan kesedihan di hatinya. Liora kehilangan segalanya. Liora kehilangan Mama. 

***

"Nona... Nona Queen.." Nina menguncang tubuh Nonanya. "Nona, kita sudah hampir sampai."

Liora membuka matanya dan mengedipkannya beberapa kali, "Ya Lord, aku pasti tertidur sepanjang perjalanan, kepalaku sangat pusing. Bisakah kau memberiku segelas wine?"

Segelas wine langsung habis diminum Liora tanpa bersisa. Liora merapihkan rambut dan wajahnya, bagaimanapun juga dia adalah model Victoria Secret. Liora harus selalu tampil cantik dan menawan kapanpun dan dimanapun. 

"Apa yang kau dapatkan tentang wanita itu?" Liora bertanya sambil memulas lipstik di bibirnya.

"Oh... Dia adalah model dan artis yang baru-baru ini sedang naik daun. Tepatnya setelah pertunangannya dengan GM The Queen."

"Hemm.. tipikal wanita yang mencari material?" Liora mengambil maskara dari tas make upnya dan menyapukannya di kedua bulu matanya.

"Dia berasal dari keluarga PNS dan orang tuanya tinggal di Jakarta. Tidak banyak informasi yang penting tentang dia, selain bahwa dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya selama dia bertunangan."

"What?" Liora menghentikan sapuan blush on di wajahnya. "Dia berselingkuh dibelakang Rieyu! Huh. Tidak heran, sih.. Secara pria cacat seperti itu, hanya wanita bodoh yang tahan berlama-lama melihat wajahnya."

"Nina, coba kau cari bukti-bukti perselingkuhannya dan kita akan lemparkan itu di depan Rieyu. Huh, ternyata tidak sulit memisahkan keduanya."

"Tapi, Nona... Bagaimana kalau setelah mengetahui hal itu, mereka tetap akan menikah?"

"Aku akan melakukan apapun untuk menggagalkan pernikahan mereka. Dan jangan sampai Alex tahu tentang hal ini. Ini adalah misi pribadiku, Nina. Mama tidak pernah mengatakan apapun tentang anak Abraham Sanjaya ini."

"Baik, Nona."

Sebelum turun dari pesawat, Liora mengenakan kacamata hitamnya. Berada di kelas bisnis, memberikan akses bagi Liora dan Nina untuk turun lebih dahulu. Alex? Liora sengaja memberikan kelas ekonomi.

Mobil BMW i8 berwarna kuning langsung menyambut Liora di pintu keluar, dibelakangnya ada Range Rover Evoque Convertible berwarna hitam. 

"Alex!"

"Yes,Queen." Alex terlihat kerepotan dengan tiga koper yang sedang dibawanya, belum lagi ransel miliknya yang besarnya udah sama dengan carrier orang-orang yang naik gunung!

"Kau dan Nina pakai mobil hitam itu, aku akan membawa mobil kuning ini sendirian.

"Tapi, Nona..." Nina mengeluarkan suara mencegah Nonanya mengendarai mobil sendirian.

"Aku sudah sering berkendara di Bali 10 tahun yang lalu, Nina.. Tenang saja" Liora langsung memasuki mobilnya dan melemparkan tas tangannya di kursi penumpang sebelahnya. Liora membuka jendelanya dan berteriak. "Sampai ketemu di The Queen."

Liora langsung melaju mobilnya keluar dari bandara dan menjelajahi kota Bali. Liora merindukan Bali. Walaupun Liora meninggalkan Bali dengan kenangan buruk, tapi Bali juga adalah kota yang memberikan kenangan terindah pada Liora. 

Kehidupan Liora - Mama - Papa awalnya berjalan indah seperti kebanyakan keluarga. Walaupun Mama yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Liora, tetapi pada akhir minggu Papa selalu menemani Liora bermain. Lima belas tahun kehidupan Liora berjalan baik-baik saja, hingga Liora masuk SMA dan bertemu dengan dia. Pria yang membuat Liora jatuh hati.

Mobil Liora akhirnya sampai pada gerbang utama The Queen Hotel. Sepuluh tahun yang lalu The Queen belum sebesar ini, Liora mengamati perkembangan The Queen melalui televisi dan sumber berita lainnya, tiga tahun yang lalu barulah Liora memperhatikan detil bisnis yang berjalan di The Quen.

Liora harus mengakui bahwa GM The Queen yang baru bergabung lima tahun lalu, membawa angin segar untuk hotel ini. The Queen berkembang luar biasa ditangan dia. Liora tahu Papanya pasti sangat bangga dengan hasil kerja GM yang baru itu. Yang mana, pria itu adalah putranya sendiri.

Liora berhenti di lobby hotel, Alex dan Nina langsung berlari menyambutnya. Liora menyerahkan kunci mobilnya kepada petugas Valet.

"Nona Queen, sepertinya kita ada sedikit masalah." Alex membuka suaranya. Liora masih menggunakan kaca mata hitamnya dan tidak memberikan komentar sama sekali.

"Maafkan saya, Nona. Sepertinya reservasi yang kita lakukan kemarin dibatalkan sepihak oleh pihak hotel. Saya baru melihat email pebatannya hari ini begitu sampai di hotel ini." Kini Nina yang mencoba menjelaskan.

Liora berjalan melewati kedua pengawalnya menuju receptionist VIP. "Berikan saya kamar ataupun Vila terbaik di resort ini."

Liora mengenakan kemeja hitam dan berbelahan dada rendah, celana hitam kulit dan kacamata hitam yang masih melekat di wajahnya. Tidak ada senyum di wajahnya. Kedua resepsionis itu saling berpandangan,seakan saling melempar undi siapa yang akan menjawab pertanyaan Lioara.


"Maaf, Nona. Seluruh kamar dan resort kamu sedang penuh." Kata resepsionis yang wanita.

Liora semakin kesal dengan kedua pegawainya itu. "Berikan saya kamar yang terbaik atau kalian akan saya pecat!"

"Maaf Nona, tapi Anda tidak bisa memecat kami. Anda buka...n" 

"Ehem.. Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Miss....?" Seorang pria yang menggunakan suit lengkap dan kacamata hitam yang masih terpasanga di wajahnya, mengulurkan tangannya pada Liora. Udara disekitar Liora seketika itu menghilang, seluruh oksigen seakan terserap ke wajah pria yang ada di depannya. 

"Perkenalkan saya Yamada, saya adalah General Manager di sini. Ada yang bisa saya bantu, Miss?"
Rieyu masih mengulurkan tangannya dan menunggu reaksi dari wanita di depannya.



"Oh, haii Pak Yamada?" Liora tidak membalas uluran tangan Rieyu, dia hanya melambaikan tangannya. 

"Maaf, Pak. Nona ini ingin menginap di sini tetapi ruangan kita penuh." Jawab resepsionis wanita itu sambil menyelipkan rambutnya ke balik kuping. Ya Lord, Liora langsung ingin muntah melihat tingkah genit itu.

Rieyu membuka kacamatanya dan memperlihatkan tatapan yang bersalah. "Mohon maaf, Nona seperti yang dikatakan oleh pegawai saya saat ini The Queen memang sudah full book. Ada baiknya lain kali Anda melakukan reservasi sebelum ke sini."

"Bolehkah saya bertanya, Pak Yamada?" Liora semakin kesal, dia membuka kacamata hitamnya dan menunjukkan kemarahan di matanya. 

"Silahkan, Miss." 

"Apakah Anda tahu kenapa hotel ini diberi nama The Queen?" Liora melipat kacamatanya dan menaruhnya di kemejanya. Tepatnya di belahan dadanya.

Rieyu terdiam mendengarkan pertanyaan tersebut. Rieyu tahu jawabannya, tapi menjawab hal itu membuatnya teringat tentang seseorang yang sangat dibencinya. Perubahan airmuka Rieyu ini terlalu kentara di mata Liora. 

"Karena hotel ini dibangun setelah putri pertama Pak Sanjaya lahir. Nama putrinya Queen Liora Sanjaya. Sehingga hotel ini pun diberi nama The Queen" Resepsionis wanita itu menjawab pertanyaan Liora tanpa diminta. Gadis itu berharap mendapat pujian karena menyelamatkan bos tampannya dari pertanyaan Liora.

"Ahaa.. Gadis pintar. Sekarang, coba kamu baca kembali reservasi saya yang sudah kamu tolak itu. Itu atas nama siapa?" Liora melirik gadis itu sebentar lalu kembali menatap Rieyu dengan senyum sinisnya.

"Maaf, Nona. Di sini reservasi atas nam Queen Liora Sanja... ya.." Resepsionis itu membaca nama Liora dengan terbata. 

"Jadi apakah saya bisa mendapatkan kamar saya? Atau apakah saya bisa memecat kamu? Nona Pricillia?" Liora membaca label nama resepsionis itu yang ada dada kiri pakaiannya.

"Taapi.. sa..at. in.."

"Aku akan mengantarmu ke ruanganmu, Queen!" Rieyu menarik tangan Liora dan menariknya menuju lift. Rieyu berjalan lebih cepat dari langkah Liora yang membuatnya kesakitan.

"Woiii... You hurt me!" Pintu lift langsung terbuka dan Rieyu menarik Liora masuk. Beberapa meter dari mereka Alex dan Nina yang melihat Nonanya di tarik paksa berlari ke arah Liora, sayangnya mereka sampai ketika pintu lift berhasil ditutup sempurna.

"Untuk apa kau datang kemari?" Rieyu hanya berdua dengan Liora di dalam lift.

"Kau mau bawa aku ke mana?" Liora melihat tombol angka tiga yang menyala. "Kau tidak sedang berencana mencampakkan aku dari lantai tiga ke lantai dasar, kan? Well, fyi.. Itu tidak akan membunuhku. Sebaiknya kau menembakku langsung di kepala. Itu cara mati yang paling cepat." Liora masih terus berbicara hingga pintu lift terbuka.

Rieyu kembali menarik tangan Liora dan menariknya dengan kasar. "Hei... Pak Yamada, kau menyakitiku! Sumpah aku akan melaporkanmu ke komisi perlindungan pelanggan dan menuntutmu."

Rieyu tidak sedikitpun terpengaruh dengan ucapan Liora. "Okai, lepaskan aku sekarang juga atau aku akan melaporkanmu pada Papaku." Rieyu tiba-tiba berhenti dan Liora merasa lega karena mengira pria itu takut akan ancamannya. 

Sayangnya tidak seperti itu, Rieyu mengeluarkan kartu aksesnya dan membuka pintu kamar di depan mereka. Sekali lagi Rieyu menarik tangan Liora dan memaksanya masuk ke dalam kamarnya. Rieyu masih menarik tangan Lioran hingga gadis itu duduk diatas kasur.

"Jawab aku. Untuk apa kau kemari?" Wajah Rieyu terlalu dekat dengan Liora. Hal itu berdampak aliran oksigen yang mengalir ke otak Liora. Sedikit. Sehingga otaknya jadi sedikit lama respon.

"Emangnya ada yang salah kalau putri Pak Sanjaya menguji ayahnya?"

"Cih. Jika kau menganggapnya ayah, sepuluh tahun ini kau di mana?" Liora tersenyum sinis menanggapi ucapan Rieyu.

"Dia sendiri dimana selama sepuluh tahun ini? Terlalu sibuk dengan putran kandungnya, heh?" Rieyu mengeraskan rahangnya setiap kali mendengar jawaban dari bibirnya Liora.

Queen Liora yang ada didepannya saat ini bukanlah Queen Liora yang sama dengan sebelas tahun yang lalu. Dulu Liora adalah gadis berkulit hitam dengan bau matahari dan bermata biru. Wajah hitamnya penuh dengan jerawat-jerawat merah. Kini wanita yang di depannya ini terlihat sangat cantik dengan mata birunya yang terlihat menantang dan pembangkang. Kalau saja yang dihadapannya saat ini adalah pria, pasti sudah habis dihajar oleh Rieyu.

"Tapi kenapa baru sekarang kau muncul? Pasti ada alasan khusus." Rieyu menjauhkan wajahnya dari wajah Liora. Terlalu lama menghirup parfum Liora bisa membuatnya ingin menelanjangi wanita itu.

"Jelas ada alasan khusus. Tapi aku tidak mau repot-repot menjelaskannya padamu. Aku ke sini memang khusus untuk menemui Abraham Sanjaya. Bukan untuk bertemu denganmu. Sekarang bisa kau beritahu di mana kamar untukku? Rasanya... " Liora melirik ke seluruh kamar yang sedang ditempatinya. Kamar itu cukup kecil dan sederhana, hanya ada tempat tidur queen size, meja kerja, dan televisi. Liora melirik foto yang ada di meja nakas dekat tempat tidur, ada foto Rieyu dan Ibunya.

"Ini pasti kamarmu, kan? Aku ingin punya kamar sendiri. Urusanku dengan Abraham Sanjaya bukan urasan 1, 2 jam. Aku butuh tempat untuk beristirahat juga dua asisten pribadiku."

"Sementara kau bisa pakai kamarku ini. Aku bisa tidur di ruang kerjaku."

"Whatt?" Liora berdiri dari kasur. Sayangnya, Liora tidak memperhitungkan bahwa jaraknya dengan Rieyu sangat dekat. Begitu Liora berdiri, dadanya dan dada Rieyu bersentuhan. Bodohnya lagi Liora langsung mundur dan kakinya terbentur kasur. Liora tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, secara refleks Liora menarik apa saja yang ada di depannya untuk mencegahnya jatuh. Liora tidak punya banyak pilihan, hanya lengan Rieyu yang bisa di jadikah pegangan.

Rieyu merasakan sengatan aneh ditubuhnya saat merasakan dada Liora menenyentuhnya. Benda kenyal itu merusak konsentrasinya hingga diapun tidak bisa menahan tubuh Liora agar tidak jatuh. Akhirnya Rieyupun ikut terjatuh besama Liora. Tepatnya terjatuh di atas dada Liora!

Liora masih menutup matanya ketika dia merasakan ada benda berat yang menekan seluruh tubuhnya. Ketika dia membuka mata, mata biru Liora bertemu dengan mata hitam milik Rieyu. Mata itu sangat gelap seolah-olah ingin menelah Liora saat ini juga. 

"Sedang apa kau? Mengapa tidak segera menyingkir dari atas tubuhku. Kau berat, tahu!"

"Oya? Lalu kenpa tanganmu masih meremas lenganku, Queen!" Liora lalu tersadar dan melepaskan lengan Rieyu. Tetapi baru saja dia melepasnya, dia menahan lengan kiri Rieyu dan dengan tangan kirinya Liora menyentuh dagu Rieyu sebelah kanan. 

Sentuhan Liora yang tiba-tiba seperti membakar kulit Rieyu. Liora menyentuhnya tepat di tempat yang seharusnya tidak pernah di sentuk oleh Liora. Lagi. 

"Stop!" Tangan kanan Rieyu menahan tangan kiri Liora. Liora bisa melihat kemarahan di mata pria itu.

"Oh.. Aku kira bekas lukamu sudah hilang, ternyata hanya efek foundation. Kau pake merek apa? Sepertinya aku mau mencobanya untuk diriku. Katakan." Liora tersenyum penuh kemenangan. Satu-satunya kemengan terbesar Liora yang juga adalah kekalahanya adalah bekas luka yang saat ini ada di wajah Rieyu. Bekas luka itu adalah tanda kemarahan Liora pada Rieyu sepuluh tahun yang lalu.

Rieyu menyingkirkan tangan Liora dan bangkit dari kasurnya. Liora pun ikut menaikkan tubuhnya, hanya saja kali ini dia tidak ikut berdiri. Hanya duduk di kasur dan menunggu apapun kalimat kasar yang akan dikeluarkan Rieyu.

"Sepertinya kau lupa bahwa hari ini hotel sudah penuh dan besok ada perayaan Nyepi di Bali, kau tidak punya pilihan lain selain menginap di kamarku untuk malam ini sampai ada kamar kosong atau kau bisa pindah dari hotel setelah perayaan Nyepi selesai."

Tanpa sadar Liora menepuk jidatnya. Jelas saja dia tidak tahu bahwa besok ada Nyepi, di New York tidak ada tanggal merah untuk Nyepi."Ehemm.. Baiklah jika kau memaksa aku akan menginap di sini malam ini. Kau akan menginap di ruang kantormu,seperti yang kau ucapkan sebelumnya."

"Ok." 

"Tapi bagaimana dengan asistenku? Kamarmu ini hanya punya satu tempat tidur. Aku punya satu asisten wanita dan satu lagi pria. Aku bisa saja tidur di sini bersama Nina, tapi aku rasa Alex tidak akan nyaman bila tidur satu ruangan dengan kami, walaupun tidurnya di sofa." Liora menaikkan kedua bahunya. Melemparkan masalahnya begitu saja kepada Rieyu, yang membuat pria itu lagi-lagi menggertakkan rahangnya.

Rieyu menghubuni sesorang melalui telepon kamar, sepertinya dia berbicara dengan manager pelayan di hotel itu. Setelah beberapa menit berdiskusi, Rieyu menutup telponya. "Kedua asistenmu bisa tidur di asrama pelayan malam ini. Kebetulan beberapa karyawan ada yang pulang untuk merayakan Nyepi. Mereka bisa bergabung dengan pelayan lainnya."

"Tetapi mereka bukan pelayan. Mereka itu asistenku!" Liora bangkit dari duduknya dan mendekati Rieyu yang berjarak lima langkah dari tempatnya. 

"Kau mau mereka tidur di lobby hotel atau di asrama pelayan? Dan asal kau tahu selama Nyepi tidak boleh ada kegiatan di luar kamar!" 

Liora tidak bisa menjawab perkataan Rieyu. Rieyu menunggu wanita itu membalasnya, tapi dia hanya diam dan menunduk. Rieyu pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Baru saja pintu itu dibuka, Rieyu menutup kembali pintu itu. Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Ahhh.. bodohnya aku! Aku tidak bisa menginap di ruanganku, Ruangan itu sedang di renovasi dan kondisinya tidak layak untuk ditempati."

"Lalu? Kau tidak berniat untuk tetap tidur satu ruangan denganku di sini, kan?"

"Apa aku punya pilihan lain?"

"Ya Lord.... Kamar Abraham Sanjaya di mana? Aku bisa menginap disitu. Satu ruangan dengan dia lebih baik daripada dengan mu."

"Oh itu.. aku juga belum memberitahumu bahwa Pak Sanjaya sedang ada meeting di Jakarta dengan tim The Queen Jakarta. Kemungkina beliau akan kembali setelah perayaan Nyepi selesai."

"Tapi.. Tapi.. Kau pasti punya master key ke ruangannya bukan? Come on you are the GM of this hotel."

"Maaf mengecewakanmu, tapi ruangan Pak Sanjaya juga sedang di renovasi. Beliau ingin mengganti warna kamarnya sehingga, ya... kamar itu sedang di cat ulang."

"Arrhhhhh.... Oke. Malam ini aku tidur di kasur, kau tidur di sofa itu." Liora menunjuk pada satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu dan itu adalah sofa single, hanya bisa diduduki oleh satu orang.

"Ya Lord... Kau GM hotel ini, tapi kau tinggal di ruangan yang sangat-amat sederhana dan tidak ada apa-apa ini? Bahkan kau tidak punya sofa untuk merebahkan tubuh?" Liora mengacak-acak rambutnya kesal.

"Kalau kau tidak mau satu kasur denganku, kau bisa tidur di sofa itu. Badanmu mungkin lebih cocok di situ. Kalau badanku?" Rieyu menyombongkan tubuh kekarnya yang lebih tinggi dan lebar dibandingkan Liora.

"Okai. Kita akan tidur di ranjang yang sama tapi akan ada pembatas di tengah-tengah. Kau tidak boleh melewatinya!" Liora mengacungkan jarinya pada Rieyu. Rieyu hanya mengangguk sambil melirik kasurnya kemudian keluar dari ruangan.

Liora menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Rencananya hari ini untuk bertemu dengan Abraham Sanjaya harus diundur. Tetapi itu tidak seberapa dibandingkan kekesalannya karena bertemu dan berdebat dengan Rieyu Oatmeal Yamada itu.

Ya Lord... di dalam hati Liora saat ini sedang ada gemuruh gendang yang bertalu-talu. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana malam ini, tidur satu ranjangan dengan pria saja belum pernah dilakukannya, apalagi tidur satu ranjangan dengan si Oatmeal yang nyebelin.




Saturday, March 31, 2018

[1] Pemakaman Wanita yang Aku Panggil Mama

"Lio, let's go sweetheart... your mama is happy now." Granpa membelai punggung Liora mencoba menenangkan perasaan apapun yang sedang dirasakan Liora saat ini.

"Give me 5 minuets, Gramps. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepada Mama." William Ellison mengganguk dan berjalan menuju mobilnya, dia memberikan tanda agar semua pengawal mereka meninggalkan cucunya sendirian.

"Mama..." Liora menumpahkan semua airmatanya lagi, berharap air mata itu dapat menghapus kesedihan di hatinya. Kehilangan mama sama seperti kehilangan separuh dunianya, selama ini semua hal yang dilakukan Liora adalah untuk mamanya. Tidak pernah satu haripun Liora mau hidup terpisah dari mama, bahkan bila ada jadwal pemotretan di luar kota mama harus ikut atau kontrak dibatalkan!

"Mama, Lio janji...." Liora menghapus airmatanya. "Lio janji akan sampaikan pesan Mama ke Papa. Lio akan kembali ke Bali dan bertemu Papa." Liora kemudian memutar kakinya dan berjalan meninggalkan makam mamanya.

Deretan mobil sedan hitam meninggalan Green Wood Cemetery, Liora masih menatap makam mamanya dari jendela mobil hinggal nisan itu sudah tidak terlihat lagi. Liora tidak akan kembali ke pemakaman ini sampai semua pesan terakhir mamanya dilaksanakannya. Sebuah wasiat yang sangat dibenci Liora. 

"Apa yang Mamamu inginkan darimu, Nak?" William menyentuh tangan cucunya. Biasanya William selalu menggunakan mobil yang berbeda dengan cucunya, tapi untuk kali ini dia ingin tau apa pesan terakhir putrinya.

"Mama ingin aku ke Bali, Kek." Liora tidak menatap William, dia hanya menunduk menatap kedua tangannya dan tangan kakeknya yang sudah berkeriput.

"Untuk apa, Sayang? Kau lebih baik di sini menemani Kakek dan hotel-hotel kita juga membutuhkanmu, Nak." Lioara tersenyum dan memandang William, menggenggam tangan kakek tua itu dan menciumnya.

"Kakekku sayang, aku tau Kakek masih sangat-sangat kuat untuk mengurusi semua hotel-hotel kita disini. Anggap saja aku sedang bekerja di Bali kek. Toh, ada salah satu hotel terbesar kita di sana. Anggap saja aku sedang melakukan audit mendadak ke sana."

"Tapi sayang, sudah ada Papamu di sana. Apakah kau yakin dia mau menerimamu disana?" Liora kembali tersenyum. Senyum yang dipaksakan. "Bagaimanapun aku masih memiliki namanya dibelakang namaku, Kek."

Liora tahu tidak seharusnya dia kembali ke Indonesia karena kepulangannya adalah mimpi buruk bagi Abraham Sanjaya. Queen Liora Sanjaya akan mengambil kembali apa yang pernah Mamanya berikan pada Abraham Sanjaya.

"Kakek mau kau mengajak Nina dan Alex bersamamu" Ada nada memaksa dalam kalimat William, dia tidak akan tenang bila cucunya pergi tanpa pengawal.

"Ohh.. come on Gramps, I will be alright."

"No! Bawa mereka atau kau tidak aku ijinkan keluar dari negara ini!" William mengambil ponselnya dan berlagak seolah akan menghubungi seseorang. Jelas saja William punya kuasa itu, dia adalah pemilik hotel termewah di New York. Bukan hanya New York, hampir diseluruh negara bagian Amerika Serikat berdiri hotel miliknya juga dibeberapa negara Asia dan Eropa. Singkatnya, William adalah The Hotel King of The World karena banyaknya hotel yang dimilikinya.

"Aku akan ajak Nina saja, Alex will be with you." William tidak menjawab cucunya dan masih membuang wajahnya menatap deretan pepohonan di pinggir jalan. Liora tahu dia tidak akan pernah bisa menolak keinginan kakeknya.

"Fine... Aku akan berangkat minggu depan, aku harap kakek tidak melakukan apapun untuk menunda kepergianku Aku tidak akan lama, Kek." 

"Jaga dirimu, Nak. Bila kau butuh bantuan apapun, hubungi Kakek. Kau adalah pewaris Kakek, Kau bisa membiarkan hotel di Bali itu membusuk karena Kau punya puluhan hotel bahkan ratusan yang lebih baik dari itu." William merangkul Liora dan Liora membaringkan kepalanya dibahu William.

"I will miss you, Gramps. Oh... Bolehkan aku membawa satu botol parfum kakek, jadi kalau aku kangen kakek tinggal semprotin parfumya ke bantal." 

"Bawa sebanyak yang kau mau, Nak" Liora tersenyum dalam pelukan Kakeknya. Lio tidak ingin memberitahu William bahwa kepergiannya tidak akan secepat yang dibayangkan William. 

Banyak rencana di kepala Liora dan semuanya itu tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua bulan, tapi semoga rencana itu tetap terlaksanakan.

***
Liora mebuka pintu kamarnya, disana sudah ada Nina yang sedang mengerjakan sesuatu di komputer Liora. Liora memang sengaja meminta Nina tinggal untuk mencari informasi tentang The Quuen sebelum meraka pergi. Dua tahun bekerja bersama Nina , Liora tahu wanita ini memiliki otak yang sangat cerdas dan pengalamannya bekerja di FBI sangat membantu Liora dalam berbisnis. 

Liora memang baru mulai terjun ke bisnis perhotelan sejak 3 tahun lalu, namun itu waktu yang cukup untuk membawa namanya ke malah Forbes. Di usia ke 25 wajah Nina sudah bertebaran di majalah-majalah Fashion sebagai model Victoria Secret, dua tahun setelah itu wajahany sudah ada di majalah Forbes. 

Ya, Nina mulai masuk kedunia bisnis sejak dia masih aktif sebagai model, tapi sejak dua tahun lalu kegiatan modeling sudah ditinggalkanya. Liora mau fokus mempelajari bisnis perhotelan Kakeknya, perlahan-lahan hotel-hotel William sudah berganti pemilik menjadi Liora. Semua hotel yang dipegang Liora terbukti bisa menjadi lebih sukses dari sebelumnya. 

Di belakang Liora ada Nina dan Alex yang selalu bisa diandalkan sebagai pengawal dan asisten pribadi. Nina dengan keahliannya mecari dan mengelola data secara online, sedangkan Alex dengan kehebatan negosisinya. Keduanya mebuat Liora semakin kuat dan yakin dalam setiap keputusan bisnis yang diambilnya.

"Nina , persiapkan dirimu kita akan berlibur ke Bali." 

"Kita akan pergi berapa lama, Nona?" Nina bangkit dari kursinya dan mulai membantu Liora yang sedang menurunkan kopernya.

"Bawa barangmu seadanya saja, sisanya akan kita beli di sana." 

"Apakah kita ke Bali untuk menghadiri pernikahan pria ini, Nona?" Nina menunjukkan semua halaman sampul majalah dengan wajah sepasang kekasih dengan berita 'General Manager The Queen Hotel akan segera menikah'

"Apa?" Liora menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas layar komputer dari tempatnya berdiri. "Tidak mungkin" Liora melangkah dengan cepat ke meja kerjanya dan membuka berita majalah itu.

Setelah pertunangan yang sudah berlangsung tahun lalu di The Queen Hotel, Rieyu Othniel Yamada akan menikahi tunangannya Thalia Xaquila. Acara pernikahan ini akan dilakukan di Eternity Chapel yang ada di The Queen Hotel. Acara pernikahan ini direncakan akan berlangsung bulan depan....

Liora mengebrak meja kerjanya dengan sangat keras hingga Nina sampai terkejut melihat kemarahan Liora. Liora bukanlah tipe wanita pemarah dan baru kali ini Nina melihat mata Liora semarah itu. 

"Nina , cari tahu siapa wanita ini dan katakan pada Alex untuk memperisiapkan keberangkatan kita secepatnya ke Bali. Dan... yah.. Alex juga akan ikut."

"Baik." Ada jeda sebelum Nina menjawab Liora, bukan karena perintah untuk mencari tahu tentang wanita itu, tapi karena Alex yang akan ikut pergi bersama mereka. Walaupun Nina selalu menutupinya, tapi Liora tahu. Liora tahu bahwa Nina menyukai Alex. Diam-diam Nina pun sedang berusaha mendekatkan mereka. Walaupun Nina kurang cocok dengan Alex. Alex itu semacam mata-mata kakeknya dan dia tidak suka di mata-matai.

Liora meninggalkan kamarnya, dia butuh sesuatu untuk melampiaskan marahnya. Dia marah karena Rieyu akan menikahi wanita lain. Padahal siapa dirinya bagi Rieyu? Mungkin saja pria itu tidak pernah tahu kalau Liora masih hidup. Atau mungkin kalaupun dia tahu, dia pasti akan langsung membunuh Rieyu. Perbuatan Liora pada Rieyu dulu mungkin saja masih meninggalkan kebencian dihati pria itu.

Tapi apakah kemarahan Liora karena dia masih mencintai pria itu?


Meet Liora dengan pakaian berkabungnya. 







Thursday, February 4, 2016

[#30HariMenulisSuratCinta] Dear Gary!



Dear Gary Thomas,

Yes, you don't know me and I don't care. Bahkan sangking gak pedulinya surat ini kamu baca ato gak, aku menulis surat ini dalam Bahasa.

Pertama-tama ijinkan aku menyapamu dengan ucapan terimakasih. 
Terimakasih karena sudah menulis, terimakasih sudah berbagi kisahmu dan semua pelayananmu.

Juga untuk teman sekamarku yang sudah meminjamkan bukumu, terimakasih.

So Gary, people said your book is good.
Walaupun demikian, awalnya aku mengira itu hanya buku biasa saja, buku yang akan membuatku semakin yakin bahwa Tuhan sudah menetapkan jodohku dan tidak lama lagi Tuhan akan pertemukan kami. 

This book is different!!
So different, bahkan dibandingkan buku si Joshua Harris, buku ini lebih bagus.

[#30HariMenulisSuratCinta]Hallo, Nona Cappucino!


Hei Nona?

Masih memesan minuman yang sama?

Si minuman dengan taburan coklat favoritemu?
Kamu membenci minuman hitam itu, tapi menyukainya bila sudah mendapatkan campuran coklat.
Sesekali kamu memberanikan diri untuk mencoba rasa lain, tapi kau tidak pernah menyukai minumanku.
Aku si penyuka kopi pahit sedang kamu adalah penyuka kopi manis. Dan entah bagaimana kita bisa bertemu karena biji kopi dan kita melalui 4 tahun kita dengan rasa manis dan sedikit pahit. Kita memutuskan untuk mengakhirinya karena walaupun kita menikmati hubungan itu, tapi kita tidak bisa membawa hubungan itu kemana-mana.

Tidak ada hubungan yang berakhir dengan indah. Kita setuju akan hal itu. Itulah alasan kamu menangis ketika kamu mengembalikan kalung hati pemberianku. Itu juga alasan kamu tersenyum ketika datang ke acara pernikahanku.

Kini setelah tiga tahun berlalu, kita kembali bertemu. Pertemuan yang tidak pernah aku harapkan lagi. Pertemuan yang paling aku hindari dan aku takuti.


Tapi akhirnya kita dipertemukan, mungkinkah langit ingin melihat kisah kita lagi?
Kalau iya, aku harap kisah kita bisa lebih manis dari cappucino pesananmu.

Note: tulis ulang dari blog saya yang lain, dan ini hanya sebuah fiksi

♥ yuyu ♥ 

Wednesday, February 3, 2016

[#30HariMenulisSuratCinta] Tuan Negri Tulip



Hello, Old Friend!

Long time no see?

Apa kabar kamu sekarang? Sudah punya anak kah?
Kabar terakhir yang kudapat darimu hanyalah undangan pernikahanmu tiga tahun lalu.

Tiga tahun yang lalu!
Tiga tahun sejak aku mendatangi resepsi pernikahanmu itu, aku tidak pernah melihatmu ataupun mendengar kabarmu lagi.
Aku yang tiga tahun lalu datang ke kondanganmu dengan berstatus single hingga detik ini pun masih single.

Wednesday, December 9, 2015

Si Radio Tua


Rumah itu kecil, terletak jauh dari keramaian ibu kota. Rumah itu berisikan Mamak, Bapak, Kakak, Abang, Adik, dan kucing yang bernama Bujang. Setiap satu atau dua jam sekali akan ada kereta listrik yang melalui depan rumah itu, itulah sebabnya si Kakak selalu memutar radio setiap hari. 

“Kakak, janganlah lagu-lagu bule itu terus kau putar, pusing Mamak dengar lagumu!” 

“Makanya, puter lagu dangdut aja!” Si Bapak berseru dari dapur sambil membawa segelas kopi.

“Jangan, Pak! Nanti si Bujang gak mau pulang ke rumah. Gak suka lagu dangdut, dia.” 

“Si Adek ini, cuma Si Bujang aja yang diurusinya tiap hari. Kerjakan PR mu!!” Si Abang, memukul kepala Adik yang sejak tadi bermain dengan Bujang walaupun buku PR-nya sudah terbuka di sebelahnya. 

“Sudahlah, aku ganti aja ke siaran yang lagu bahasa Indo, ya... Karena kita ini berbahasa satu!” Seru Si Kakak sambil memutar Radio yang sudah tua itu.

“Bahasa Indonesia!!” Sambung Si Adik dan Si Abang bersamaan.

Setiap hari, selepas makan malam, Kakak selalu memutar radio. Terkadang Si Adik berteriak memanggil Abang untuk membantunya mengerjakan PR, sementara Kakak dan Mamak membereskan meja setelah makan. Kakak selalu menjadi orang yang memarahi Abang dan Adik setiap kali mereka tidak mengerjakan PR atau kalau mereka pulang sekolah terlambat. 

Radio tua itu adalah satu-satunya hiburan di rumah itu. Siaran mulai dari berita pagi, siang, gosip selebriti, hingga bunyi berisik halus di dini hari. Radio tidak pernah mati, kecuali mati lampu.

Sunday, December 6, 2015

Bukan Mr. Strangger


Kindness is like coffee. It awakens your spirit and improves your day.

"Caramel Macchiato hangat satu ya..."

Sambil menunggu antrian pesanan yang panjang, aku menyebarkan pandanganku mencari bangku kosong untukku. Semua bangku di toko kopi terkenal ini hampir penuh, ada beberapa yang kosong tapi aku tidak yakin apakah aku bisa mendapatkannya atau tidak. Baru saja ada beberapa kumpulan remaja yang melewatiku dan menyebar mencari tempat duduk, di depanku juga ada tiga orang yang sepertinya senasib denganku. Sendirian dan sedang menunnggu hujan reda.

Aku melihat jam tanganku, sudah jam sepuluh malam dan diluar sana hujan masih deras. Antrian taxi sudah aku pastikan sangat panjang, daripada aku menunggu sambil berdiri lebih baik aku minum segelas kopi untuk meredakan kekesalan hari ini. Bagaimana tidak kesal coba? Jam tujuh malam aku sudah bersiap untuk pulang, komputer sudah aku matikan dan tas kerja sudah aku gantungkan dibahuku ketika bos muncul dan...

"Lita, tolong laporan yang untuk senin diselesaikan hari ini, kirimkan ke saya kalau sudah selesai!" Bayangkan saja, sekarang hari Jumat dan pekerjaan untuk minggu depan harus diselesaikan hari ini? Mana laporan itu sama sekali belum aku sentuh! 

Aku mematikan kembali komputerku di jam setengah sepuluh malam. Aku meninggalkan bosku yang masih sibuk dengan semua email-email ataupun pekerjaannya yang lain. Itulah nasib orang yang bergaji besar, tanggung jawab juga makin banyak.

Jam sepuluh malam dan di sinilah aku berakhir, mengantri di kedai kopi terkenal. Di luar sedang hujan deras, dan antrian taxi juga sangat panjang. Daripada menunggu sambil kedinginan lebih baik menunggu ebrsama kopi kopi hangat. Lagian, besok tidak ada janji yang akan dikejar, hanya ada kasur dan yang akan menemahi hari Sabtu malasku.

"Kak Lalita, Caramel Macchiato." Aku mengambil minumanku dan melangkah lebih cepat ke kursi itu. Satu kursi kosong yang ada di depan jendela besar dengan meja panjang yang sudah hampir penuh dengan individu yang sedang menanti. Menanti redanya hujan, ataupun menikmati bahagia bersama aroma kopi. Untungnya aku lebih cepat dari wanita di depanku tadi, sehingga aku sekarang bisa melihat jendela yang dibasahi tetesan hujan dan juga lampu-lampu kemacetan Jakarta. 

Aku menggenggam minumanku dan membiarkan hangatnya mengalir dari telapak tanganku hingga ke dalam hatiku. Setidaknya hangat itu dapat menukar rasa kesal dihatiku. Aku menikmati wangi kopi dan manisnya caramel, aku memejamkan mataku agar kenikmatan itu dapat mengalir jantungku, kepalaku, dan seluruh sel-sel ditubuhku.

Di luar masih hujan deras dengan kemacetan Jakarta yang gak ada ampunnya. Aku melirik jam lagi, baru sepuluh menit aku menunggu tapi rasanya seperti sudah dua jam. Aku membuka ponselku dan membuka social mediaku satu-persatu. Di path pada ramai posting mie rebus yang terlihat lezat, di facebook penuh dengan sharing tentang agama dan politik, instagram penuh dengan postingan orang jualan. Bosan!

Aku kembali minum kopiku yang sudah hampir dingin dan isinya tinggal setengah tapi hujan masih terlihat deras. Aku menopang daguku dengan tangan kanan sambil bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar di kedai kopi ini. 

"Permisi, saya boleh duduk di sini, ya... " Seorang pria membawa kursi dari meja lain dan memaksakan dirinya duduk di antara aku dan pria lain yang tadi di sampingku. Jelas saja aku langsung mengerutkan keningku. Jelas-jelas tempat aku duduk sudah terlalu sempit untuk ditambah dengan satu orang asing lagi, tapi dia tetap saja kekeuh untuk duduk di situ.